Kamis, 02 Desember 2010

transplantasi




YESAYA    
Transplantasi Organ Tubuh
oleh: Romo William P. Saunders *

Saya membaca suatu artikel di koran mengenai Bapa Suci mengutuk kloning embrio manusia demi kepentingan transplantasi organ tubuh. Mohon penjelasan mengenai ajaran Gereja dalam masalah ini.
~ seorang pembaca di Sterling

Pada umumnya, Gereja Katolik memperkenankan transplantasi organ tubuh. Dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (= Injil Kehidupan), Bapa Suci Yohanes Paulus II menyatakan, “… ada kepahlawanan harian, yang terdiri dari amal perbuatan berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang kebudayaan hidup yang otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas layak dipuji seperti itu ialah pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan melalui cara yang dari sudut etika dapat diterima, dengan maksud menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan hidup sendiri kepada orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain lagi” (No. 86). Ajaran ini menggemakan Katekismus Gereja Katolik: “Transplantasi sesuai dengan hukum susila dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis, yang dipikul pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada penerima” (No. 2296). Guna memahami ajaran ini dengan lebih baik, marilah kita bergerak selangkah demi selangkah. Perlu dicatat bahwa masalah ini pertama kali dibahas dengan jelas oleh Paus Pius XII pada tahun 1950-an, dan kemudian disempurnakan sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai dalam bidang medis.  

Pertama-tama, dibedakan antara transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang telah meninggal dunia ke seorang yang hidup, versus transplantasi organ tubuh (termasuk jaringan) dari seorang yang hidup ke seorang lainnya. Dalam kasus pertama, yaitu apabila donor organ tubuh adalah seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul masalah moral. Paus Pius XII mengajarkan, “Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnya dan memperuntukkannya bagi tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak tercela dan bahkan luhur, di antaranya adalah keinginan untuk menolong mereka yang sakit dan menderita. Seorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan hormat terhadap tubuhnya sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan yang pantas untuk tubuhnya…. Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan sungguh dibenarkan” (Amanat kepada Kelompok Spesialis Mata, 14 Mei 1956).

Pada dasarnya, apabila organ-organ tubuh dari seorang yang telah meninggal dunia, seperti ginjal, hati, kornea mata, dapat menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup seorang lainnya yang masih hidup, maka transplantasi yang demikian adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji. Patut dicatat bahwa donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh kesadaran sebelum wafatnya, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat kematiannya: “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran” (No. 2296).

Satu peringatan perlu disampaikan di sini: Keberhasilan suatu transplantasi organ tubuh sangat bergantung pada kesegaran organ, artinya bahwa prosedur transplantasi harus dilakukan sesegera mungkin begitu donor meninggal dunia. Namun demikian, donor tidak boleh dinyatakan meninggal dunia secara dini atau kematiannya dipercepat hanya agar organ tubuhnya dapat segera dipergunakan. Kriteria moral menuntut bahwa donor sudah harus meninggal dunia sebelum organ-organ tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Demi menghindari konflik antar kepentingan, Uniform Anatomical Gift Act memprasyaratkan, “Saat kematian hendaknya ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat kematiannya, atau, jika tidak ada, dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter tersebut tidak diperkenankan untuk ikut ambil bagian dalam prosedur pengambilan atau transplantasi organ tubuh” (Section 7 (b)). Meski peraturan ini tidak mendatangkan dampak atas moralitas transplantasi organ tubuh itu sendiri, namun martabat orang yang menghadapi ajal wajib dilindungi, dan mempercepat kematian atau mengakhiri hidupnya demi mendapatkan organ-organ tubuhnya untuk kepentingan transplantasi adalah amoral. Di sini, sekali lagi Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Langsung menyebabkan keadaan cacat atau kematian seseorang, selalu dilarang secara moral, meskipun dipakai untuk menunda kematian orang lain” (No. 2296), suatu point yang digarisbawahi oleh Bapa Suci.

Transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup ke seorang lainnya jauh lebih rumit. Kemampuan untuk melakukan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954 menimbulkan suatu debat sengit di antara para teolog. Debat berfokus pada prinsip totalitas - di mana dalam keadaan-keadaan tertentu seorang diperkenankan untuk mengorbankan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seorang diperkenankan mengangkat suatu organ tubuh yang sakit demi memelihara kesehatan seluruh tubuhnya, misalnya mengangkat rahim yang terserang kanker. Namun demikian, para teolog ini berargumentasi bahwa seorang tidak dapat dibenarkan mengangkat suatu organ tubuh yang sehat dan mendatangkan resiko masalah kesehatan di masa mendatang apabila hidupnya sendiri tidak berada dalam bahaya, misalnya pada kasus seorang mengorbankan sebuah ginjal yang sehat untuk didonorkan kepada seorang yang membutuhkan. Operasi yang demikian, menurut mereka, mendatangkan pengudungan yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya amoral.

Sebagian teolog lainnya beragumentasi dari sudut pandang belas kasih persaudaraan, yaitu bahwa seorang yang sehat yang mendonorkan sebuah ginjal kepada seorang yang membutuhkan, melakukan suatu tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa orang. Kemurahan hati yang demikian sesuai dengan teladan Tuhan Sendiri di salib, dan merefleksikan ajaran-Nya pada saat Perjamuan Malam Terakhir, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:12-13). Menurut para teolog ini, korban yang demikian secara moral dapat diterima apabila resiko celaka pada donor, baik akibat operasi itu sendiri maupun akibat kehilangan organ tubuh, proporsional dengan manfaat bagi si penerima.

Bergerak dari alasan ini, para teolog yang “pro-transplantasi” mempertimbangkan kembali prinsip totalitas. Mereka mengajukan argumentasi bahwa meski transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Sebagai contoh, seorang dapat mengorbankan satu ginjalnya yang sehat (adanya kehilangan dalam keutuhan anatomis) dan masih dapat memelihara kesehatan dan fungsi tubuh yang layak dengan ginjal yang tersisa; donor yang demikian secara moral diperkenankan. Tetapi, dengan alasan yang sama, seorang tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan yang demikian menganggu fungsi tubuhnya.

Paus Pius XII setuju dengan pemahaman belas kasihan ini dan juga tafsiran yang lebih luas dari prinsip totalitas; sebab itu beliau memaklumkan transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup secara moral diperkenankan. Bapa Suci menggarisbawahi point bahwa donor mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan point ini, “… Setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari suatu keputusan yang bernilai luhur: yakni keputusan untuk memberi satu bagian dari tubuhnya sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Di sinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang adalah tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri….” (Amanat kepada Partisipan dalam Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No. 3).

Namun demikian, transplantasi organ tubuh dari seorang donor hidup kepada seorang yang lain wajib memenuhi empat persyaratan: (1) resiko yang dihadapi donor dalam transplantasi macam itu harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan atas diri penerima; (2) pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya; (3) perkiraan penerimaan adalah baik bagi si penerima, dan (4) donor wajib membuat keputusan dengan penuh kesadaran dan bebas dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.     

Dalam tulisan selanjutnya, kita akan melanjutkan pembahasan kita mengenai transplantasi organ tubuh dengan memeriksa beberapa masalah yang mendatangkan dampak atas moralitas.


* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Organ Transplants and Cloning” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2000 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar